Pengolahan
hasil perikanan memanfaatkan sifat-sifat fisikawi terutama penggunaan suhu
merupakan prinsip dasar dalam bidang pengolahan hasil perikanan. Penggunaan
suhu dikenal dengan suhu rendah (chilling
dan freezing) dan suhu tinggi yang
meliputi (boiling, pasteurisasi, dan sterilisasi).
Berikut masing-masing pnejelasan proses tersebut.
A.
Chilling
Chiling atau dalam bahasa
umumnya adalah pendinginan merupakan proses pengolahan ikan yang sangat
sederhana dan sering digunakan, pendinginan berprinsip menurunkan suhu serendah
mungkin yang dilakukan dengan cepat. Pendinginan hanya mampu memperlambat
proses pembusukan oleh bakteri maupun aktifitas enzim pembusuk. Suhu
pendinginan berkisar antara (0 – 40C) dan patokan suhu ini yang
dijadikan pembeda antara proses pendinginan dengan freezing atau lebih dikenal dengan pembekuan. Media pendingin dapat
berupa gas, cairan maupun padatan contohnya es, es lebih sering digunakan. Es
sebagai media pendingin dapat berbentuk balok maupun curai dan dapat dibuat
dari air tawar yang didinginkan, air laut yang didinginkan, dan air larutan
garam yang didinginkan. Pendinginan dengan es dapat digunakan secara langsung
untuk mengawetkan ikan dengan susunan (es, ikan, es, ikan dst) maupun
ditambahkan dengan air (es, air, dan ikan). Kebutuhan es sebagai media
pendingin ikan adalah 1 : 1 (1 kg ikan :
1 kg es).
B.
Freezing
Freezing atau yang sering
dikenal pembekuan adalah proses dimana suatu produk diturunkan suhunya hingga
dibawah titik beku dan sebagian dari air yang terkandung didalamnya telah menjadi
kristal es (Fellows, 1990). Dari pengertian tersebut penggunaan suhu lebih
rendah dari -20C bahkan sampai -300C atau lebih rendah
lagi digunakan dalam proses pembekuan. Titik beku air yang terkandung dalam
tubuh ikan adalah 00C sehingga kondisi diluar tubuh ikan untuk
mencapai titik beku tersebut haruslah lebih rendah dari 00C.
Perbedaan penggunaan suhu inilah yang menjadikan pembeda antara proses
pendinginan dan pembekuan. Hal penting yang perlu diperhatikan apabila akan
membekukan ikan adalah :
1. Karakteristik
ikan atau bahan baku (hal ini meliputi sifat biologis, karakteristik kimiawi
ikan, bentuk dan ukuran ikan, ketebalan produk, cara penanganan ikan, cara
kematian ikan dan lain sebagainya).
2. Penguasaan
sistem dan proses pembekuan meliputi faktor penentu laju dan waktu pembekuan,
metode pindah panas dan termodinamika produk, sirkulasi, kecepatan dan
distribusi medium pembeku.
3. Penguasaan
peralatan dan mesin pembekuan meliputi jenis dan kapasitas mesin pembeku serta
metode pengoperasiaannya.
4. Biaya
produksi untuk melakukan proses pembekuan.
Pemanfaatan dengan suhu rendah selain
memberikan efek positif juga dapat memberikan efek negatif, efek negatif yang
dapat ditimbulkan dari proses pemanfaatan suhu rendah adalah :
Denaturasi dan agregasi protein akibat
aktifitas enzim, tingkat ekstrakbilitasnya berkurang, menurunnya daya ikat air
(Water Holding Capacity) daging ikan dan pada akhirnya menyebabkan
perubahan tekstur dan sensori daging yang tidak diinginkan. Ikan salmon asap yang
disimpan pada suhu 40C(RFS), fillet salmon yang belum diasap disimpan
pada suhu -250C selama 24 jam kemudian diasap dan disimpan pada suhu
40C (BFS), dan fillet salmon yang sebelumnya disimpan pada suhu suhu
-250C selama 24 jam kemudian diasap dan disimpan pada suhu -180C
selama 24 jam sebelum dianalisis (AFS), semua sampel dianalisis pada hari ke –
2, 9, 16, 23, 30, 37 dan 45 hari. Hasil analisa menunjukkan bahwa perlakuan RFS
dan BFS menghasilkan efek negatif pada adhesiveness
dan cohesiveness (karakteristik
tekstur), intensitas aroma asap, aroma amina, dan intensitas warna daging.
Sedangkan perlakuan AFS mempunyai masa simpan lebih lama 45 hari dan memberikan
nilai cohesiveness, firmness, dan intensitas warna yang
lebih baik dibandingkan dua perlakuan sebelumnya (Martinez, 2010)
Prinsip pemanfaatan suhu pada pengolahan
hasil perikanan tidak hanya sebatas penggunaan suhu rendah akan tetapi pemanfaatan
suhu tinggi juga telah banyak diterapkan. Tujuan penerapan suhu tinggi adalah
mematikan mikroorganisme penyebab kebusukan dan keracunan yang terkandung pada
bahan (ikan) yang akan diolah, menginaktifkan enzim penyebab kerusakan ikan
serta mendapatkan tekstur bahan yang diharapkan. Dalam bidang pengolahan hasil
perikanan pemanfaatan suhu tinggi dikenal adanya :
C.
Boiling
Boiling merupakan salah satu
tehnik pengolahan ikan dengan cara merebus ikan dalam air yang telah diberi
garam maupun tanpa garam. Boiling fish
atau di Indonesia lebih dikenal dengan ikan pindang merupakan tehnik pengawetan
ikan yang bersifat singkat. Hal ini dikarenakan bahan baku ikan yang digunakan
kurang memenuhi standar, tehnik pengolahan, serta pengemasan yang masih
bersifat sederhana. Jenis ikan yang sering dijadikan pindang adalah kembung (Rastrelliger), Layang (Decapterus), Tongkol (Euthynnus) atau Caranx sp. Proses pengolahan ikan pindang pada masing-masing daerah
berbeda-beda tergantung dari teknologi / peralatan yang digunakan. Secara umum
proses pemindangan ikan adalah sebagai berikut :
Penanganan Bahan Baku (Thawing)
jika bahan baku yang digunakan
setelah disimpan di cold storage
Sortasi dan penyusunan dalam besek
Perebusan
Penirisan dan Pendinginan
Proses pemindangan ikan memberikan efek positif maupun negatif terhadap nutrisi,
tekstur dan sensori produk. Hasil penelitian Oluwaniyi, O et al. (2010) menunjukkan bahwa Ikan Clupea
harengus,
Scomber scombrus, Trachurus
trachurus and Urophycis tenuis yang
telah dihilangkan kepala dan tulangnya dimasak selama 10 menit pada suhu 1000C
hingga matang menunjukkan bahwa pemanfaatan panas dalam proses pengolahan ikan
(boiling) 1). Mampu mengurangi kadar
protein daging ikan yang nantinya menyebabkan kerusakan dan tidak tersediannya
asam-asam amino, hal ini dikarenakan semakin lama dan tinggi temperatur yang
digunakan pada proses pemindangan menyebabkan perubahan kandungan asam amino
pada daging. Berikut ini disajikan perubahan asam amino beberapa jenis ikan.
(Sumber : Oluwaniyi, O et al. 2010).
Asam Amino
|
Clupea
harengus
(fresh)
|
Clupea
harengus
(boiled)
|
Scomber
scombrus
(fresh)
|
Scomber
scombrus
(boiled)
|
Trachurus
trachurus
(fresh)
|
Trachurus
trachurus
(boiled)
|
Urophycis
tenuis
(fresh)
|
Urophycis
tenuis
(Boiled)
|
Lisin
|
7,05
|
6,81
|
8,02
|
7,88
|
6,82
|
6,66
|
7,85
|
7,22
|
Histidin
|
2,90
|
2,67
|
3,41
|
3,29
|
2,87
|
2,73
|
3,15
|
2,94
|
Arginin
|
5,13
|
5,44
|
7,07
|
6,99
|
5,31
|
5,13
|
5,67
|
5,59
|
Asam Aspartat
|
9,60
|
11,39
|
9,05
|
10,72
|
9,61
|
10,66
|
10,08
|
11,86
|
Threonin
|
4,55
|
4,23
|
4,24
|
3,92
|
4,28
|
4,02
|
3,77
|
3,67
|
Serin
|
4,20
|
4,25
|
4,83
|
4,83
|
4,52
|
4,49
|
4,05
|
4,05
|
Asam Glutamat
|
13,36
|
14,58
|
13,91
|
14,99
|
12,02
|
13,21
|
11,31
|
12,40
|
Proline
|
7,33
|
5,67
|
5,13
|
3,69
|
5,59
|
4,57
|
6,59
|
4,75
|
Glisin
|
5,97
|
5,36
|
5,49
|
5,27
|
5,32
|
4,86
|
6,14
|
5,62
|
Alanin
|
5,19
|
5,27
|
5,22
|
5,20
|
5,51
|
5,95
|
6,08
|
5,27
|
Sistein
|
0,91
|
0,84
|
1,02
|
0,95
|
0,95
|
0,99
|
1,07
|
0,99
|
Valin
|
4,21
|
4,46
|
5,41
|
5,30
|
4,53
|
4,37
|
4,75
|
4,59
|
Metionin
|
2,53
|
2,34
|
2,48
|
2,39
|
2,30
|
2,21
|
2,62
|
2,44
|
Isoleusin
|
4,22
|
4,05
|
4,77
|
4,67
|
4,57
|
4,39
|
4,22
|
3,76
|
Leusin
|
7,03
|
7,13
|
6,86
|
6,93
|
7,21
|
7,32
|
7,33
|
7,43
|
Tirosin
|
2,72
|
2,85
|
3,42
|
3,51
|
2,86
|
3,14
|
2,71
|
2,85
|
Fenilalanin
|
4,63
|
4,78
|
4,41
|
5,41
|
4,55
|
4,63
|
4,39
|
4,63
|
Triptopan
|
ND
|
ND
|
ND
|
ND
|
ND
|
ND
|
ND
|
ND
|
Total amino acid (TAA)
|
91,51
|
92,12
|
94,73
|
95,94
|
88,81
|
89,32
|
91,78
|
90,05
|
%Difference
|
0,67
|
128
|
0,57
|
-1,88
|
||||
Total Essential Amino Acids (TEAA)
|
40,73
|
40,17
|
44,04
|
44,24
|
40,94
|
40,45
|
41,86
|
40,52
|
% TEAA
|
44,51%
|
43,60%
|
46,49%
|
46,12%
|
46,10%
|
45,28%
|
45,61%
|
44,99%
|
P-PER
|
2,44
|
2,47
|
2,29
|
2,31
|
2,50
|
2,52
|
2,57
|
2,60
|
Keterangan : ND = Not determined; PER = Protein Efficeiency Ratio
(kemampuan protein yang digunakan untuk pertumbuhan)
2). Ikan yang dipindang pada suhu 85-900C selama 15 menit
mampu menurunkan nilai EPA dan DHA, akan tetapi EPA dan DHA ikan yang dipindang
tersebut mengalami penurunan yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan
ikan yang digoreng menggunakan minyak bunga matahari pada suhu 150-1700C
selama 15-20 menit (Gladyshev, M. I. etal. 2007).
D.
Pasteurisasi
Proses
pengolahan yang memanfaatkan suhu tinggi tetapi tidak melebihi titik didih air
(1000 C’). Pasteurisasi digunakan untuk menginaktifkan enzim,
membunuh sebagian bakteri pembusuk maupun patogen, dan mampu memperpanjang daya
simpan. Penggunaan pasteurisasi disesuaikan dengan karakteristik bahan yang
akan diolah dan biasanya bahan yang dipasteurisasi tidak tahan terhadap panas.
Produk perikanan yang biasa dipasteurisasi adalah rajungan, kepiting, oyster.
Menurut Badan Standarisasi Nasional (2002), bahwa suhu dalam wadah pasteurisasi
rajungan 1800 – 1900 F atau 82,20 – 87,80
C selama 115 – 118 menit
E.
Sterilisasi
Sterilisasi
merupakan pengolahan yang menggunakan suhu sangat tinggi, dapat melebihi titik
didih air. Suhu yang digunakan untuk sterilisasi adalah 1210C selama
15 menit dengan mengacu pada spora bakteri termophilus seperti Clostridium botulinum dan Bacillus lebih resisten pada suhu
tersebut. Sterilisasi dapat merusak nilai gizi bahan yang diolah oleh karena
itu dikenal adanya sterilisasi komersial. Sterilisasi komersiil merupakan
tingkat sterilisasi dimana semua bakteri patogen dan pembentuk toksin,
mikroorganisme jika ada dan yang dapat tumbuh dibawah penanganan dan kondisi
penyimpanan normal dapat dimusnahkan.
Makanan
yang telah disterilisasi komersial mungkin masih mengandung sejumlah kelompok
mikroba dalam bentuk spora yang tahan panas, akan tetapi spora ini sudah
inaktif atau tidak dapat membelah diri dan hanya dapat hidup bila diisolasi dan
ditumbuhkan.
F.
Deep
Frying
Deep frying sama halnya dengan proses
pengolahan ikan memanfaatkan suhu tinggi yang bertujuan untuk inaktivasi enzim,
membunuh mikroba pembusuk dan patogen yang nantinya meningkatkan daya awetnya
serta memperbaiki tekstur dan citarasa produk yang dihasilkan akan tetapi yang
membedakan disini adalah media perambatan panas yang digunakan berupa minyak.
Minyak yang digunakan seperti minyak kelapa sawit, bunga matahari, canola,
kedelai, maupunminyak sayur. Hal yang perlu diperhatikan pada proses
penggorengan adalah jenis minyak yang digunakan, suhu pemanasan dan lama waktu
pemanasan karena ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan oksidasi minyak
maupun lemak khususnya asam lemak seperti EPA dan DHA yang terkandung pada
ikan. Penelitian Gladyshev, M. I. et al.
(2007) dan Emanuelli et al. (2008) menunjukkan bahwa kandungan EPA dan
DHA mengalami penurunan yang signifikan pada ikan yang digoreng jika
dibandingkan dengan ikan yang diolah secara direbus maupun dipanggang.
G. Iradiasi
Prinsip
pengolahan hasil perikanan dengan iradiasi adalah bahan pangan diiradiasi
pengion (Cobalt 60, Celsium 137, Mesin Berkas Elektron, Sinar X) sehingga sel
hidup (mikroorganisme) mengalami eksitasi, ionisasi, dan perubahan kimia yang
nantinya berpengaruh terhadap proses biologis mikroorganisme sehingga makanan
mempunyai daya awet yang lebih lama. Di Indonesia pengolahan ikan secara
iradiasi masih jarang kita jumpai hal ini disebabkan oleh faktor sumber daya
yang digunakan harus benar-benar terlatih serta mahalnya biaya produksi yang
harus dikeluarkan.
H. Modified Atsmoshere Packaging (MAP)
MAP merupakan suatu tehnik pengawetan dengan memodifikasi susunan gas
khususnya oksigen yang terdapat dalam kemasan dengan tujuan menghambat atau
bahkan mematikan bakteri aerobik penyebab kebusukan (Ahvenainen, R. 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Ahvenainen,
R. 2003. Active and intelligent packaging : An introducing. In R. Ahvenainen
(Ed), Novel food packaging techniques (pp. 6). Boca Raton, FL : CRC Press. LLC
Emanuelli,
Tatiana., Jucieli Weber., Vivian C. Bochi., Cristiane P. Ribeiro., Andre de M.
Victorio. 2008. Effect of different cooking methods on the oxidation, proximateand fatty acid composition of silver catfish (Rhamdia quelen) fillets.
Food Chemistry 106 (2008) 140 – 146.
Gladyshev,
Michail. I., Nadezdha N. Suschik., Galina A. Gubanenko., Sevilia M.
Demirchieva., Galina S. Kalachova. 2007. Effect of boiling and frying on thecontent of essential polyunsaturated fatty acids in muscle tissue of fourspecies. Food Chemistry 101 (2007) 1694 – 1700.
Martinez,
Olaia., Jesus Salmeron, Maria D. Guillen, Carmen Casas. 2010. Effect offreezing on the phsicochemical, texture and sensorial characteristic of salmon(Salmo salar) smoked with liquidsmoke flavouring. LWT – Food Science and Technology 43 (2010) 910 – 918.
Oluwaniyi, O.O., O.O. Dosumu., G. V. Awolola. 2010.
Effect of local processing methods (boilling, frying and roasting) on the aminoacid composition of four marine fishes commonly consumed in Nigeria. Food
Chemsitry 123 (2010) 1000 – 1006.
No comments:
Post a Comment