Monday, August 4, 2014

Pengolahan Ikan Secara Fisikawi

Pengolahan hasil perikanan memanfaatkan sifat-sifat fisikawi terutama penggunaan suhu merupakan prinsip dasar dalam bidang pengolahan hasil perikanan. Penggunaan suhu dikenal dengan suhu rendah (chilling dan freezing) dan suhu tinggi yang meliputi (boiling, pasteurisasi, dan sterilisasi). Berikut masing-masing pnejelasan proses tersebut.
A.      Chilling
Chiling atau dalam bahasa umumnya adalah pendinginan merupakan proses pengolahan ikan yang sangat sederhana dan sering digunakan, pendinginan berprinsip menurunkan suhu serendah mungkin yang dilakukan dengan cepat. Pendinginan hanya mampu memperlambat proses pembusukan oleh bakteri maupun aktifitas enzim pembusuk. Suhu pendinginan berkisar antara (0 – 40C) dan patokan suhu ini yang dijadikan pembeda antara proses pendinginan dengan freezing atau lebih dikenal dengan pembekuan. Media pendingin dapat berupa gas, cairan maupun padatan contohnya es, es lebih sering digunakan. Es sebagai media pendingin dapat berbentuk balok maupun curai dan dapat dibuat dari air tawar yang didinginkan, air laut yang didinginkan, dan air larutan garam yang didinginkan. Pendinginan dengan es dapat digunakan secara langsung untuk mengawetkan ikan dengan susunan (es, ikan, es, ikan dst) maupun ditambahkan dengan air (es, air, dan ikan). Kebutuhan es sebagai media pendingin ikan adalah 1 : 1 (1 kg ikan  : 1 kg es).
B.      Freezing
Freezing atau yang sering dikenal pembekuan adalah proses dimana suatu produk diturunkan suhunya hingga dibawah titik beku dan sebagian dari air yang terkandung didalamnya telah menjadi kristal es (Fellows, 1990). Dari pengertian tersebut penggunaan suhu lebih rendah dari -20C bahkan sampai -300C atau lebih rendah lagi digunakan dalam proses pembekuan. Titik beku air yang terkandung dalam tubuh ikan adalah 00C sehingga kondisi diluar tubuh ikan untuk mencapai titik beku tersebut haruslah lebih rendah dari 00C. Perbedaan penggunaan suhu inilah yang menjadikan pembeda antara proses pendinginan dan pembekuan. Hal penting yang perlu diperhatikan apabila akan membekukan ikan adalah :
1.      Karakteristik ikan atau bahan baku (hal ini meliputi sifat biologis, karakteristik kimiawi ikan, bentuk dan ukuran ikan, ketebalan produk, cara penanganan ikan, cara kematian ikan dan lain sebagainya).
2.      Penguasaan sistem dan proses pembekuan meliputi faktor penentu laju dan waktu pembekuan, metode pindah panas dan termodinamika produk, sirkulasi, kecepatan dan distribusi medium pembeku.
3.      Penguasaan peralatan dan mesin pembekuan meliputi jenis dan kapasitas mesin pembeku serta metode pengoperasiaannya.
4.      Biaya produksi untuk melakukan proses pembekuan.
Pemanfaatan dengan suhu rendah selain memberikan efek positif juga dapat memberikan efek negatif, efek negatif yang dapat ditimbulkan dari proses pemanfaatan suhu rendah adalah :
Denaturasi dan agregasi protein akibat aktifitas enzim, tingkat ekstrakbilitasnya berkurang, menurunnya daya ikat air (Water Holding Capacity) daging ikan dan pada akhirnya menyebabkan perubahan tekstur dan sensori daging yang tidak diinginkan. Ikan salmon asap yang disimpan pada suhu 40C(RFS), fillet salmon yang belum diasap disimpan pada suhu -250C selama 24 jam kemudian diasap dan disimpan pada suhu 40C (BFS), dan fillet salmon yang sebelumnya disimpan pada suhu suhu -250C selama 24 jam kemudian diasap dan disimpan pada suhu -180C selama 24 jam sebelum dianalisis (AFS), semua sampel dianalisis pada hari ke – 2, 9, 16, 23, 30, 37 dan 45 hari. Hasil analisa menunjukkan bahwa perlakuan RFS dan BFS menghasilkan efek negatif pada adhesiveness dan cohesiveness (karakteristik tekstur), intensitas aroma asap, aroma amina, dan intensitas warna daging. Sedangkan perlakuan AFS mempunyai masa simpan lebih lama 45 hari dan memberikan nilai cohesiveness, firmness, dan intensitas warna yang lebih baik dibandingkan dua perlakuan sebelumnya (Martinez, 2010)

Prinsip pemanfaatan suhu pada pengolahan hasil perikanan tidak hanya sebatas penggunaan suhu rendah akan tetapi pemanfaatan suhu tinggi juga telah banyak diterapkan. Tujuan penerapan suhu tinggi adalah mematikan mikroorganisme penyebab kebusukan dan keracunan yang terkandung pada bahan (ikan) yang akan diolah, menginaktifkan enzim penyebab kerusakan ikan serta mendapatkan tekstur bahan yang diharapkan. Dalam bidang pengolahan hasil perikanan pemanfaatan suhu tinggi dikenal adanya :
C.      Boiling
Boiling merupakan salah satu tehnik pengolahan ikan dengan cara merebus ikan dalam air yang telah diberi garam maupun tanpa garam. Boiling fish atau di Indonesia lebih dikenal dengan ikan pindang merupakan tehnik pengawetan ikan yang bersifat singkat. Hal ini dikarenakan bahan baku ikan yang digunakan kurang memenuhi standar, tehnik pengolahan, serta pengemasan yang masih bersifat sederhana. Jenis ikan yang sering dijadikan pindang adalah kembung (Rastrelliger), Layang (Decapterus), Tongkol (Euthynnus) atau Caranx sp. Proses pengolahan ikan pindang pada masing-masing daerah berbeda-beda tergantung dari teknologi / peralatan yang digunakan. Secara umum proses pemindangan ikan adalah sebagai berikut :

Penanganan Bahan Baku (Thawing)
jika bahan baku yang digunakan 
setelah disimpan di cold storage


 
Sortasi dan penyusunan dalam besek



Perebusan


Penirisan dan Pendinginan

Proses pemindangan ikan memberikan efek positif maupun negatif terhadap nutrisi, tekstur dan sensori produk. Hasil penelitian Oluwaniyi, O et al. (2010) menunjukkan bahwa Ikan Clupea harengus, Scomber scombrus, Trachurus trachurus and Urophycis tenuis yang telah dihilangkan kepala dan tulangnya dimasak selama 10 menit pada suhu 1000C hingga matang menunjukkan bahwa pemanfaatan panas dalam proses pengolahan ikan (boiling) 1). Mampu mengurangi kadar protein daging ikan yang nantinya menyebabkan kerusakan dan tidak tersediannya asam-asam amino, hal ini dikarenakan semakin lama dan tinggi temperatur yang digunakan pada proses pemindangan menyebabkan perubahan kandungan asam amino pada daging. Berikut ini disajikan perubahan asam amino beberapa jenis ikan. (Sumber : Oluwaniyi, O et al. 2010).

Asam Amino
Clupea harengus
(fresh)
Clupea harengus
(boiled)
Scomber scombrus
(fresh)
Scomber scombrus
(boiled)
Trachurus trachurus
(fresh)
Trachurus trachurus
(boiled)
Urophycis tenuis
(fresh)
Urophycis tenuis
(Boiled)
Lisin
7,05
6,81
8,02
7,88
6,82
6,66
7,85
7,22
Histidin
2,90
2,67
3,41
3,29
2,87
2,73
3,15
2,94
Arginin
5,13
5,44
7,07
6,99
5,31
5,13
5,67
5,59
Asam Aspartat
9,60
11,39
9,05
10,72
9,61
10,66
10,08
11,86
Threonin
4,55
4,23
4,24
3,92
4,28
4,02
3,77
3,67
Serin
4,20
4,25
4,83
4,83
4,52
4,49
4,05
4,05
Asam Glutamat
13,36
14,58
13,91
14,99
12,02
13,21
11,31
12,40
Proline
7,33
5,67
5,13
3,69
5,59
4,57
6,59
4,75
Glisin
5,97
5,36
5,49
5,27
5,32
4,86
6,14
5,62
Alanin
5,19
5,27
5,22
5,20
5,51
5,95
6,08
5,27
Sistein
0,91
0,84
1,02
0,95
0,95
0,99
1,07
0,99
Valin
4,21
4,46
5,41
5,30
4,53
4,37
4,75
4,59
Metionin
2,53
2,34
2,48
2,39
2,30
2,21
2,62
2,44
Isoleusin
4,22
4,05
4,77
4,67
4,57
4,39
4,22
3,76
Leusin
7,03
7,13
6,86
6,93
7,21
7,32
7,33
7,43
Tirosin
2,72
2,85
3,42
3,51
2,86
3,14
2,71
2,85
Fenilalanin
4,63
4,78
4,41
5,41
4,55
4,63
4,39
4,63
Triptopan
ND
ND
ND
ND
ND
ND
ND
ND
Total amino acid (TAA)
91,51
92,12
94,73
95,94
88,81
89,32
91,78
90,05
%Difference

0,67

128

0,57

-1,88
Total Essential Amino Acids (TEAA)
40,73
40,17
44,04
44,24
40,94
40,45
41,86
40,52
% TEAA
44,51%
43,60%
46,49%
46,12%
46,10%
45,28%
45,61%
44,99%
P-PER
2,44
2,47
2,29
2,31
2,50
2,52
2,57
2,60
Keterangan : ND = Not determined; PER = Protein Efficeiency Ratio (kemampuan protein yang digunakan untuk pertumbuhan)

2). Ikan yang dipindang pada suhu 85-900C selama 15 menit mampu menurunkan nilai EPA dan DHA, akan tetapi EPA dan DHA ikan yang dipindang tersebut mengalami penurunan yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan ikan yang digoreng menggunakan minyak bunga matahari pada suhu 150-1700C selama 15-20 menit (Gladyshev, M. I. etal. 2007).

D.      Pasteurisasi
Proses pengolahan yang memanfaatkan suhu tinggi tetapi tidak melebihi titik didih air (1000 C’). Pasteurisasi digunakan untuk menginaktifkan enzim, membunuh sebagian bakteri pembusuk maupun patogen, dan mampu memperpanjang daya simpan. Penggunaan pasteurisasi disesuaikan dengan karakteristik bahan yang akan diolah dan biasanya bahan yang dipasteurisasi tidak tahan terhadap panas. Produk perikanan yang biasa dipasteurisasi adalah rajungan, kepiting, oyster. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2002), bahwa suhu dalam wadah pasteurisasi rajungan 1800 – 1900 F atau 82,20 – 87,80 C selama 115 – 118 menit
E.      Sterilisasi
Sterilisasi merupakan pengolahan yang menggunakan suhu sangat tinggi, dapat melebihi titik didih air. Suhu yang digunakan untuk sterilisasi adalah 1210C selama 15 menit dengan mengacu pada spora bakteri termophilus seperti Clostridium botulinum dan Bacillus lebih resisten pada suhu tersebut. Sterilisasi dapat merusak nilai gizi bahan yang diolah oleh karena itu dikenal adanya sterilisasi komersial. Sterilisasi komersiil merupakan tingkat sterilisasi dimana semua bakteri patogen dan pembentuk toksin, mikroorganisme jika ada dan yang dapat tumbuh dibawah penanganan dan kondisi penyimpanan normal dapat dimusnahkan.
Makanan yang telah disterilisasi komersial mungkin masih mengandung sejumlah kelompok mikroba dalam bentuk spora yang tahan panas, akan tetapi spora ini sudah inaktif atau tidak dapat membelah diri dan hanya dapat hidup bila diisolasi dan ditumbuhkan.
F.       Deep Frying
Deep frying sama halnya dengan proses pengolahan ikan memanfaatkan suhu tinggi yang bertujuan untuk inaktivasi enzim, membunuh mikroba pembusuk dan patogen yang nantinya meningkatkan daya awetnya serta memperbaiki tekstur dan citarasa produk yang dihasilkan akan tetapi yang membedakan disini adalah media perambatan panas yang digunakan berupa minyak. Minyak yang digunakan seperti minyak kelapa sawit, bunga matahari, canola, kedelai, maupunminyak sayur. Hal yang perlu diperhatikan pada proses penggorengan adalah jenis minyak yang digunakan, suhu pemanasan dan lama waktu pemanasan karena ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan oksidasi minyak maupun lemak khususnya asam lemak seperti EPA dan DHA yang terkandung pada ikan. Penelitian Gladyshev, M. I. et al. (2007) dan Emanuelli et al.  (2008) menunjukkan bahwa kandungan EPA dan DHA mengalami penurunan yang signifikan pada ikan yang digoreng jika dibandingkan dengan ikan yang diolah secara direbus maupun dipanggang.
G.      Iradiasi
Prinsip pengolahan hasil perikanan dengan iradiasi adalah bahan pangan diiradiasi pengion (Cobalt 60, Celsium 137, Mesin Berkas Elektron, Sinar X) sehingga sel hidup (mikroorganisme) mengalami eksitasi, ionisasi, dan perubahan kimia yang nantinya berpengaruh terhadap proses biologis mikroorganisme sehingga makanan mempunyai daya awet yang lebih lama. Di Indonesia pengolahan ikan secara iradiasi masih jarang kita jumpai hal ini disebabkan oleh faktor sumber daya yang digunakan harus benar-benar terlatih serta mahalnya biaya produksi yang harus dikeluarkan.
H.     Modified Atsmoshere Packaging (MAP)
MAP merupakan suatu tehnik pengawetan dengan memodifikasi susunan gas khususnya oksigen yang terdapat dalam kemasan dengan tujuan menghambat atau bahkan mematikan bakteri aerobik penyebab kebusukan (Ahvenainen, R. 2003).

DAFTAR PUSTAKA
Ahvenainen, R. 2003. Active and intelligent packaging : An introducing. In R. Ahvenainen (Ed), Novel food packaging techniques (pp. 6). Boca Raton, FL : CRC Press. LLC
Emanuelli, Tatiana., Jucieli Weber., Vivian C. Bochi., Cristiane P. Ribeiro., Andre de M. Victorio. 2008. Effect of different cooking methods on the oxidation, proximateand fatty acid composition of silver catfish (Rhamdia quelen) fillets. Food Chemistry 106 (2008) 140 – 146.
Gladyshev, Michail. I., Nadezdha N. Suschik., Galina A. Gubanenko., Sevilia M. Demirchieva., Galina S. Kalachova. 2007. Effect of boiling and frying on thecontent of essential polyunsaturated fatty acids in muscle tissue of fourspecies. Food Chemistry 101 (2007) 1694 – 1700.
Martinez, Olaia., Jesus Salmeron, Maria D. Guillen, Carmen Casas. 2010. Effect offreezing on the phsicochemical, texture and sensorial characteristic of salmon(Salmo salar) smoked with liquidsmoke flavouring. LWT – Food Science and Technology 43 (2010) 910 – 918.

No comments:

Post a Comment