Sunday, August 10, 2014

Rumput Laut


Rumput laut merupakan salah satu komoditi perikanan penting sebagai akselerator penggerak ekonomi perikanan di Indonesia. Kondisi geografis Indonesia yang terletak di iklim tropis, kaya akan sinar matahari dan mineral menjadikan perairan yang subur sebagai persyaratan tumbuh rumput laut. Rumput laut yang bernilai ekonomis penting di Indonesia didasarkan pada kandungan koloidnya seperti :
1.     Rumput laut penghasil agar (agarophyte) dari jenis Gracillaria sp, Gellidium sp, dan Gelidiella sp. Kualitas agar dari jenis ini ditentukan oleh proses purifiksi untuk menghilangkan kandungan sulfat. Kualitas agar dari jenis Gelidium dan Gelidiella lebih baik jika dibandingkan dengan dari jenis Gracillaria. Akan tetapi jenis Gracillaria (Gracillaria verucosa dan Gracillaria gigas) paling banyak dibudidayakan di tambak-tambak beberapa daerah di Indonesia seperti Sulawesi Selatan (Maros, Bone, Takalar, Jeneponto, Sinjai, Wajo, Paloppo), Lombok Barat, Pantai Utara Jawa (Serang, Tangerang, Bekasi, Karawang, Brebes, Pemalang, Tuban, dan Lamongan). Sementara untuk jenis Gellidium dan Gellidiela belum dapat dikulturkan artinya masih tersedia secara alami dari alam.

Gracillaria sp

Gelidium sp

Gelidiella sp

2.    Rumput laut penghasil karagenan (Carrageenophyta), rumput laut penghasil karagenan dari jenis alga merah (Rhodophyceae) tepatnya Eucheuma. Terdapat tiga jenis karagenan yaitu : Iota karagenan yang dihasilkan dari jenis spinosum, kappa karagenan dari cottoni, dan lambda karagenan. Iota karagenan lebih lembut dan fleksibel gelnya, Kappa karagenan kaku, rapuh dan keras, sedangkan lambda karagenan tidak dapat membentuk gel tetapi bentuknya berbentuk larutan kental. Eucheuma cottoni dan spinosum paling banyak dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan industri baik dalam negeri maupun luar negeri. E. Cottoni  di Indonesia paling banyak tumbuh disekitar perairan yang berkarang seperti di perairan Nanggroe Aceh Darussalam (Sabang), Sumatera Barat (Pantai Selatan, Mentawai), Riau (Kep. Riau dan Batam), Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Banten (Ujung Kulon), Kep. Seribu, Jawa Tengah (Karimunjawa dan Jepara), Jawa Timur (Situbondo, Madura dan Banyuwangi), Bali (Nusa Penida dan Nusa Lembongan), Nusa Tenggara Barat (Lombok Timur, Lombok Barat, Sumbawa, Bima, Dompu), Nusa Tenggara timur (Larantuka, Kupang, Maumere, Pulau Rote), Sulawesi Utara , Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan (Pulau Laut), Kalimantan Timur, Maluku (Pulau Seram, Halmahera, Pulau Aru dan Kei), Papua.
3.    Rumput laut penghasil alginat (Alginophyte), alginat merupakan substrat yang terdapat pada alga coklat (Phaeophyceae). Alga coklat penghasil alginat tumbuh di perairan sub tropis khususnya spesies Macrocytis, Laminaria, Aschophyllum, Nerocytis, Ecklonia, Fucus dan Sargassum. Akan tetapi ada juga alga coklat yang tumbuh di perairan tropis seperti Indonesia contohnya Sargassum, Turbinaria, Padina dan Dyctyota. Asam alginat atau yang sering disebut Gum merupakan bentuk garam dari asam alginat. Gum termasuk polisakarida, polisakarida asam alginat dan beberapa turunannya seperti fukoidan, funoran dan laminarian merupakan komponen yang menyusun dinding sel seperti selulosa dan pektin.
Alga coklat di perairan Indonesia terdapat 28 spesies dari 6 genus : Dyctyota, Padine, Hormophysa, Sargassum, Turbinaria dan Hydroclathrus. Na Alginat digunakan secara luas oleh industri makanan, obat-obatan, kosmetik, kertas, deterjen, cat, tekstik, latex, fotografi, kulit tiruan dan masih banyak lagi. Fungsi dari Na alginat sebagai pembentuk gel, emulsifier dan stabilizator, pensuspensi, binder, finishing, cloth ossification, forming structure, purifying, dan masih banyak lagi kegunaannya.
Secara garis besar kegunaan rumput laut dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel. Kegunaan Rumput Laut
Kegunaan
Agar
Karagenan
Alginat
Makanan dan Minuman



Ice cream, Yoghurt, Cream Wafer
v
v
V
Susu Coklat, Puding Instan

v
V
Minuman



Minuman Ringan, Jus Buah

v
V
Roti
v
v
v
Permen
v

V
Daging, ikan dalam kaleng
v
v
V
Saos, salad dressing



Salad dressing, kecap kedelai

v
V
Makanan Diet



Jelly, selai, Sirup Custard

v
V
Makanan Lainnya



Makanan Bayi

v
V
Non Makanan



Pakan hewan
v
v
V
Pakan Ikan


V
Cat, Keramik

v
V
Tekstil, kertas dan kaca
v

V
Obat-obatan dan kosmetik



Pasta gigi, shampoo, kapsul obat

v
V
Material Gigi


V
Sumber : Jana T Anggadireja. 2012.

Di Indonesia beberapa industri yang bergerak di bidang pengolahan rumput laut diantaranya :
Nama
Jenis
PT. Sinar Kencana
Karagenan
PT .Dunia Bintang Walet
Agar dan Semi Refined Carragenan (SRC)
PT. Galic Artha Bahari
Chip dan Powder
PT. Agarindo Bogatama
Agar
PT. Satellite Swallow
Agar
PT. Industry Gumindo Perkasa
SRC Chip dan Powder
PT. Giwang Citra Laut
SRC Chip dan Powder
Sumber : Jana T Anggadireja. 2012


Pustaka

Directorate of Business and Invesment. 2013. Profil of Business and Invesment Opportunities on Seaweed Industry in Indonesia III. Directorate General of Fisheries Product Processing and Marketing Ministry of Marine Affairs and Fisheries.

Monday, August 4, 2014

Pengolahan Ikan Secara Fisikawi

Pengolahan hasil perikanan memanfaatkan sifat-sifat fisikawi terutama penggunaan suhu merupakan prinsip dasar dalam bidang pengolahan hasil perikanan. Penggunaan suhu dikenal dengan suhu rendah (chilling dan freezing) dan suhu tinggi yang meliputi (boiling, pasteurisasi, dan sterilisasi). Berikut masing-masing pnejelasan proses tersebut.
A.      Chilling
Chiling atau dalam bahasa umumnya adalah pendinginan merupakan proses pengolahan ikan yang sangat sederhana dan sering digunakan, pendinginan berprinsip menurunkan suhu serendah mungkin yang dilakukan dengan cepat. Pendinginan hanya mampu memperlambat proses pembusukan oleh bakteri maupun aktifitas enzim pembusuk. Suhu pendinginan berkisar antara (0 – 40C) dan patokan suhu ini yang dijadikan pembeda antara proses pendinginan dengan freezing atau lebih dikenal dengan pembekuan. Media pendingin dapat berupa gas, cairan maupun padatan contohnya es, es lebih sering digunakan. Es sebagai media pendingin dapat berbentuk balok maupun curai dan dapat dibuat dari air tawar yang didinginkan, air laut yang didinginkan, dan air larutan garam yang didinginkan. Pendinginan dengan es dapat digunakan secara langsung untuk mengawetkan ikan dengan susunan (es, ikan, es, ikan dst) maupun ditambahkan dengan air (es, air, dan ikan). Kebutuhan es sebagai media pendingin ikan adalah 1 : 1 (1 kg ikan  : 1 kg es).
B.      Freezing
Freezing atau yang sering dikenal pembekuan adalah proses dimana suatu produk diturunkan suhunya hingga dibawah titik beku dan sebagian dari air yang terkandung didalamnya telah menjadi kristal es (Fellows, 1990). Dari pengertian tersebut penggunaan suhu lebih rendah dari -20C bahkan sampai -300C atau lebih rendah lagi digunakan dalam proses pembekuan. Titik beku air yang terkandung dalam tubuh ikan adalah 00C sehingga kondisi diluar tubuh ikan untuk mencapai titik beku tersebut haruslah lebih rendah dari 00C. Perbedaan penggunaan suhu inilah yang menjadikan pembeda antara proses pendinginan dan pembekuan. Hal penting yang perlu diperhatikan apabila akan membekukan ikan adalah :
1.      Karakteristik ikan atau bahan baku (hal ini meliputi sifat biologis, karakteristik kimiawi ikan, bentuk dan ukuran ikan, ketebalan produk, cara penanganan ikan, cara kematian ikan dan lain sebagainya).
2.      Penguasaan sistem dan proses pembekuan meliputi faktor penentu laju dan waktu pembekuan, metode pindah panas dan termodinamika produk, sirkulasi, kecepatan dan distribusi medium pembeku.
3.      Penguasaan peralatan dan mesin pembekuan meliputi jenis dan kapasitas mesin pembeku serta metode pengoperasiaannya.
4.      Biaya produksi untuk melakukan proses pembekuan.
Pemanfaatan dengan suhu rendah selain memberikan efek positif juga dapat memberikan efek negatif, efek negatif yang dapat ditimbulkan dari proses pemanfaatan suhu rendah adalah :
Denaturasi dan agregasi protein akibat aktifitas enzim, tingkat ekstrakbilitasnya berkurang, menurunnya daya ikat air (Water Holding Capacity) daging ikan dan pada akhirnya menyebabkan perubahan tekstur dan sensori daging yang tidak diinginkan. Ikan salmon asap yang disimpan pada suhu 40C(RFS), fillet salmon yang belum diasap disimpan pada suhu -250C selama 24 jam kemudian diasap dan disimpan pada suhu 40C (BFS), dan fillet salmon yang sebelumnya disimpan pada suhu suhu -250C selama 24 jam kemudian diasap dan disimpan pada suhu -180C selama 24 jam sebelum dianalisis (AFS), semua sampel dianalisis pada hari ke – 2, 9, 16, 23, 30, 37 dan 45 hari. Hasil analisa menunjukkan bahwa perlakuan RFS dan BFS menghasilkan efek negatif pada adhesiveness dan cohesiveness (karakteristik tekstur), intensitas aroma asap, aroma amina, dan intensitas warna daging. Sedangkan perlakuan AFS mempunyai masa simpan lebih lama 45 hari dan memberikan nilai cohesiveness, firmness, dan intensitas warna yang lebih baik dibandingkan dua perlakuan sebelumnya (Martinez, 2010)

Prinsip pemanfaatan suhu pada pengolahan hasil perikanan tidak hanya sebatas penggunaan suhu rendah akan tetapi pemanfaatan suhu tinggi juga telah banyak diterapkan. Tujuan penerapan suhu tinggi adalah mematikan mikroorganisme penyebab kebusukan dan keracunan yang terkandung pada bahan (ikan) yang akan diolah, menginaktifkan enzim penyebab kerusakan ikan serta mendapatkan tekstur bahan yang diharapkan. Dalam bidang pengolahan hasil perikanan pemanfaatan suhu tinggi dikenal adanya :
C.      Boiling
Boiling merupakan salah satu tehnik pengolahan ikan dengan cara merebus ikan dalam air yang telah diberi garam maupun tanpa garam. Boiling fish atau di Indonesia lebih dikenal dengan ikan pindang merupakan tehnik pengawetan ikan yang bersifat singkat. Hal ini dikarenakan bahan baku ikan yang digunakan kurang memenuhi standar, tehnik pengolahan, serta pengemasan yang masih bersifat sederhana. Jenis ikan yang sering dijadikan pindang adalah kembung (Rastrelliger), Layang (Decapterus), Tongkol (Euthynnus) atau Caranx sp. Proses pengolahan ikan pindang pada masing-masing daerah berbeda-beda tergantung dari teknologi / peralatan yang digunakan. Secara umum proses pemindangan ikan adalah sebagai berikut :

Penanganan Bahan Baku (Thawing)
jika bahan baku yang digunakan 
setelah disimpan di cold storage


 
Sortasi dan penyusunan dalam besek



Perebusan


Penirisan dan Pendinginan

Proses pemindangan ikan memberikan efek positif maupun negatif terhadap nutrisi, tekstur dan sensori produk. Hasil penelitian Oluwaniyi, O et al. (2010) menunjukkan bahwa Ikan Clupea harengus, Scomber scombrus, Trachurus trachurus and Urophycis tenuis yang telah dihilangkan kepala dan tulangnya dimasak selama 10 menit pada suhu 1000C hingga matang menunjukkan bahwa pemanfaatan panas dalam proses pengolahan ikan (boiling) 1). Mampu mengurangi kadar protein daging ikan yang nantinya menyebabkan kerusakan dan tidak tersediannya asam-asam amino, hal ini dikarenakan semakin lama dan tinggi temperatur yang digunakan pada proses pemindangan menyebabkan perubahan kandungan asam amino pada daging. Berikut ini disajikan perubahan asam amino beberapa jenis ikan. (Sumber : Oluwaniyi, O et al. 2010).

Asam Amino
Clupea harengus
(fresh)
Clupea harengus
(boiled)
Scomber scombrus
(fresh)
Scomber scombrus
(boiled)
Trachurus trachurus
(fresh)
Trachurus trachurus
(boiled)
Urophycis tenuis
(fresh)
Urophycis tenuis
(Boiled)
Lisin
7,05
6,81
8,02
7,88
6,82
6,66
7,85
7,22
Histidin
2,90
2,67
3,41
3,29
2,87
2,73
3,15
2,94
Arginin
5,13
5,44
7,07
6,99
5,31
5,13
5,67
5,59
Asam Aspartat
9,60
11,39
9,05
10,72
9,61
10,66
10,08
11,86
Threonin
4,55
4,23
4,24
3,92
4,28
4,02
3,77
3,67
Serin
4,20
4,25
4,83
4,83
4,52
4,49
4,05
4,05
Asam Glutamat
13,36
14,58
13,91
14,99
12,02
13,21
11,31
12,40
Proline
7,33
5,67
5,13
3,69
5,59
4,57
6,59
4,75
Glisin
5,97
5,36
5,49
5,27
5,32
4,86
6,14
5,62
Alanin
5,19
5,27
5,22
5,20
5,51
5,95
6,08
5,27
Sistein
0,91
0,84
1,02
0,95
0,95
0,99
1,07
0,99
Valin
4,21
4,46
5,41
5,30
4,53
4,37
4,75
4,59
Metionin
2,53
2,34
2,48
2,39
2,30
2,21
2,62
2,44
Isoleusin
4,22
4,05
4,77
4,67
4,57
4,39
4,22
3,76
Leusin
7,03
7,13
6,86
6,93
7,21
7,32
7,33
7,43
Tirosin
2,72
2,85
3,42
3,51
2,86
3,14
2,71
2,85
Fenilalanin
4,63
4,78
4,41
5,41
4,55
4,63
4,39
4,63
Triptopan
ND
ND
ND
ND
ND
ND
ND
ND
Total amino acid (TAA)
91,51
92,12
94,73
95,94
88,81
89,32
91,78
90,05
%Difference

0,67

128

0,57

-1,88
Total Essential Amino Acids (TEAA)
40,73
40,17
44,04
44,24
40,94
40,45
41,86
40,52
% TEAA
44,51%
43,60%
46,49%
46,12%
46,10%
45,28%
45,61%
44,99%
P-PER
2,44
2,47
2,29
2,31
2,50
2,52
2,57
2,60
Keterangan : ND = Not determined; PER = Protein Efficeiency Ratio (kemampuan protein yang digunakan untuk pertumbuhan)

2). Ikan yang dipindang pada suhu 85-900C selama 15 menit mampu menurunkan nilai EPA dan DHA, akan tetapi EPA dan DHA ikan yang dipindang tersebut mengalami penurunan yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan ikan yang digoreng menggunakan minyak bunga matahari pada suhu 150-1700C selama 15-20 menit (Gladyshev, M. I. etal. 2007).

D.      Pasteurisasi
Proses pengolahan yang memanfaatkan suhu tinggi tetapi tidak melebihi titik didih air (1000 C’). Pasteurisasi digunakan untuk menginaktifkan enzim, membunuh sebagian bakteri pembusuk maupun patogen, dan mampu memperpanjang daya simpan. Penggunaan pasteurisasi disesuaikan dengan karakteristik bahan yang akan diolah dan biasanya bahan yang dipasteurisasi tidak tahan terhadap panas. Produk perikanan yang biasa dipasteurisasi adalah rajungan, kepiting, oyster. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2002), bahwa suhu dalam wadah pasteurisasi rajungan 1800 – 1900 F atau 82,20 – 87,80 C selama 115 – 118 menit
E.      Sterilisasi
Sterilisasi merupakan pengolahan yang menggunakan suhu sangat tinggi, dapat melebihi titik didih air. Suhu yang digunakan untuk sterilisasi adalah 1210C selama 15 menit dengan mengacu pada spora bakteri termophilus seperti Clostridium botulinum dan Bacillus lebih resisten pada suhu tersebut. Sterilisasi dapat merusak nilai gizi bahan yang diolah oleh karena itu dikenal adanya sterilisasi komersial. Sterilisasi komersiil merupakan tingkat sterilisasi dimana semua bakteri patogen dan pembentuk toksin, mikroorganisme jika ada dan yang dapat tumbuh dibawah penanganan dan kondisi penyimpanan normal dapat dimusnahkan.
Makanan yang telah disterilisasi komersial mungkin masih mengandung sejumlah kelompok mikroba dalam bentuk spora yang tahan panas, akan tetapi spora ini sudah inaktif atau tidak dapat membelah diri dan hanya dapat hidup bila diisolasi dan ditumbuhkan.
F.       Deep Frying
Deep frying sama halnya dengan proses pengolahan ikan memanfaatkan suhu tinggi yang bertujuan untuk inaktivasi enzim, membunuh mikroba pembusuk dan patogen yang nantinya meningkatkan daya awetnya serta memperbaiki tekstur dan citarasa produk yang dihasilkan akan tetapi yang membedakan disini adalah media perambatan panas yang digunakan berupa minyak. Minyak yang digunakan seperti minyak kelapa sawit, bunga matahari, canola, kedelai, maupunminyak sayur. Hal yang perlu diperhatikan pada proses penggorengan adalah jenis minyak yang digunakan, suhu pemanasan dan lama waktu pemanasan karena ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan oksidasi minyak maupun lemak khususnya asam lemak seperti EPA dan DHA yang terkandung pada ikan. Penelitian Gladyshev, M. I. et al. (2007) dan Emanuelli et al.  (2008) menunjukkan bahwa kandungan EPA dan DHA mengalami penurunan yang signifikan pada ikan yang digoreng jika dibandingkan dengan ikan yang diolah secara direbus maupun dipanggang.
G.      Iradiasi
Prinsip pengolahan hasil perikanan dengan iradiasi adalah bahan pangan diiradiasi pengion (Cobalt 60, Celsium 137, Mesin Berkas Elektron, Sinar X) sehingga sel hidup (mikroorganisme) mengalami eksitasi, ionisasi, dan perubahan kimia yang nantinya berpengaruh terhadap proses biologis mikroorganisme sehingga makanan mempunyai daya awet yang lebih lama. Di Indonesia pengolahan ikan secara iradiasi masih jarang kita jumpai hal ini disebabkan oleh faktor sumber daya yang digunakan harus benar-benar terlatih serta mahalnya biaya produksi yang harus dikeluarkan.
H.     Modified Atsmoshere Packaging (MAP)
MAP merupakan suatu tehnik pengawetan dengan memodifikasi susunan gas khususnya oksigen yang terdapat dalam kemasan dengan tujuan menghambat atau bahkan mematikan bakteri aerobik penyebab kebusukan (Ahvenainen, R. 2003).

DAFTAR PUSTAKA
Ahvenainen, R. 2003. Active and intelligent packaging : An introducing. In R. Ahvenainen (Ed), Novel food packaging techniques (pp. 6). Boca Raton, FL : CRC Press. LLC
Emanuelli, Tatiana., Jucieli Weber., Vivian C. Bochi., Cristiane P. Ribeiro., Andre de M. Victorio. 2008. Effect of different cooking methods on the oxidation, proximateand fatty acid composition of silver catfish (Rhamdia quelen) fillets. Food Chemistry 106 (2008) 140 – 146.
Gladyshev, Michail. I., Nadezdha N. Suschik., Galina A. Gubanenko., Sevilia M. Demirchieva., Galina S. Kalachova. 2007. Effect of boiling and frying on thecontent of essential polyunsaturated fatty acids in muscle tissue of fourspecies. Food Chemistry 101 (2007) 1694 – 1700.
Martinez, Olaia., Jesus Salmeron, Maria D. Guillen, Carmen Casas. 2010. Effect offreezing on the phsicochemical, texture and sensorial characteristic of salmon(Salmo salar) smoked with liquidsmoke flavouring. LWT – Food Science and Technology 43 (2010) 910 – 918.